Pengumuman

Saya terpaksa update semula blog ini kerana saya dapati masih dikunjungi ramai walau pun dah hampir sebulan saya umumkan blog ini tidak akan diupdate .Saudara/saudari boleh juga ke - mountdweller88.blogspot.com (blog kedua)



Tuesday, June 30, 2009

Dulu Dan Kini

Semasa anak-anak saya di peringkat remaja (sekolah menengah) saya berpesan kepada mereka, sekiranya Along dan Adik ada melakukan kesilapan atau bertingkah laku yang tidak elok atau juga tutur kata yang terlajak (melampau), jikalau ada orang mengatakan kita kurang ajar, jangan marahkan mereka. Orang yang patut dimarahi adalah Papa. Sebabnya mungkin di dalam hal itu Papa terlupa ajar atau terlepas pandang. Jadi memang kita kurang ajar (kurang ajaran). Terimalah hakikat ini dengan hati yang terbuka. Itu juga adalah sebagai satu pengajaran untuk Papa mendidik anak-anak. Ibu dan bapa seharusnya menerima hakikat kegagalan anak-anak adalah kegagalan kita sebenarnya.

Di sekolah pun sama. Semasa mereka di dalam sekolah rendah saya pergi berjumpa dengan Guru Besar dan berpesan kepada Guru Besar di hadapan mereka. "Cikgu, kalau anak-anak saya melakukan kesilapan dan patut dirotan, rotanlah dengan tidak payah maklumkan saya. Di rumah pun saya rotan sekiranya perlu"

Sayang sekali dunia hari ini kita terpaksa mendidik anak-anak kita bersendirian. Walau apa pun berlaku terhadap anak-anak kita ketika di luar, jauh dari pandangan mata kita tidak ada siapa yang akan peduli dan ambil hal. Tidak akan ada siapa pun yang akan menasihati atau setidak-tidaknya memaklumkan kepada kita tentang keburukan tingkah laku anak kita semasa di luar sana. Keadaan inilah yang menjadi salah satu punca kemusnahan akhlak dan keruntuhan moral yang melanda remaja hari ini.

Kenapa keadaan nafsi-nafsi ini berlaku? Kerana kita juga. Kita lebih mempercayai anak-anak kita dari mendengar dulu kata-kata orang lain tentang keburukan anak-anak kita ketika di sebalik pandangan kita. Kita buta hati untuk mendengar apa yang orang lain ingin perkatakan. Kita melebihkan ego diri kononya kitalah yang terbaik mendidik anak dan anak kitalah kononnya yang terbaik. Kenapa tidak kita mendengar dulu apa orang lain kata tentang anak kita dan kita cuba menduga dan siasat sendiri kalau was-was. Tidak semestinya kita mempercayai terus apa yang orang lain adukan. Kenapa tidak kita terima dengan positif dan ucapkan terima kasih kerana memberitahu dan katakan "Insya Allah saya akan siasat".

Ini tidak. Bila terima aduan terus katakan "Apa peduli dengan anak saya? Jagalah anak kau dulu. Anak aku, aku yang bagi makan!" " Anak kau pun apa kurangnya". Jadi, kalau beginilah sikap kita sudah tentu tidak akan ada sesesiapa akan pedulikan hal kita.

Sewaktu saya masih kanak-kanak dan meningkat remaja, semua orang tua di dalam kampung adalah sebagai penjaga kita. Walau apa perkara yang tidak baik kita lakukan, sudah pasti sampai ke telinga Ibu Bapa kita. Dan kalau perlu kita akan dihukum. Ibu Bapa kita pula tidak akan menidakkan apa yang dilaporkan. Kitalah yang akan disoal siasat. Semua golongan tua mengambil peranan ini dengan sukarela. Begitu juga dengan Guru Alquran. Pada masa saya dulu, Guru Alquran bukan setakat mengajar Alquran bahkan sebagai Pengawas murid-muridnya. Di Madrasah kalau tidak nampak muka pada Maghrib dan Isyak, esok kita akan disoal. Begitu juga Solat Tarawih dan Tadarrus dalam bulan puasa. Kalau tidak nampak muka, esoknya kita akan disiasatl. Pada waktu Solat Jumaat pun sama. Guru Alquran akan melalui di hadapan rumah murid-muridnya ketika Guru dalam perjalanan ke Masjid, beliau akan singgah dan bertanya sudahkah si Din ke Masjid?.

Saya masih ingat ketika saya mandi di sungai saya dihambat dan disebat dengan ranting senduduk oleh kawan kepada abang sulung saya. Saya lari dan seketika saya pulang ke rumah. Di hadapan rumah orang tua sudah menunggu dan menyoal sambil marah kerana mandi sungai. Rupanya selepas kawan kepada abang sulung saya tadi kejar dan sebat saya, dia terus ke rumah saya dan lapor kepada orang tua saya. Dia juga bilang yang dia sudah sebat saya dan orang tua saya tidak perlu hukum saya lagi!

Saturday, June 27, 2009

Gila Dan Tragis

Gambar-gambar dari Blog Kerabu bersuara. Terima kasih.

Terkedu dan marah selepas tengok gambar-gambar ini.

Seorang gadis sunti telah di rogol dan dimakan oleh seorang pekerja Bangla. Peristiwa ini berlaku di Kaherah mengikut apa yang diceritakan di blog kerabubersuara


Sebelum peristiwa - Comel dan cerdik nampaknya




Hanya inilah sisa yang tinggal


Hanya kepala yang tidak terusik

Disini pula di negara jiran , kisah yang sama tetapi menjadi santapan ramai-ramai. Agaknya manusia ni sedap kot? Sumber dari blog Anak Sungai Derhaka.

Friday, June 26, 2009

FEMALE WARRIORS OF THE HIGH SEAS

Article Along yang dimuatkan ke dalam Majalah Samudra


FEMALE WARRIORS OF THE HIGH SEAS

By Lt Fakhron Diyana Binti Fakruddin RMN

Deputy Weapon and Electrical Engineering Officer KD PAHANG

Ten years ago people would say it is impossible for a woman to serve onboard warships in the Royal Malaysian Navy. Being a country with Islam as her national religion, it is beyond thinking that women could ever serve side by side with men onboard a closed, limited and confined space of a ship, much less a warship. “ Women can never serve onboard warships!” The sentence rang quite clearly in my head as I remember the heated conversation that I had with one of my male Navy counterpart while I was in the military academy. Thousands of excuses and justifications were thrown in my face as I defended the practicality of the appointment of woman onboard ships, one of which being the constraints of relationships between men and women. Challenges of accommodation availability and ability of women to serve was also in question by these male chauvinists who cannot seem to accept the idea of serving alongside women onboard a warship. Women, who are thought to be weaker in physical ability and mental faculty than men, are always seen as much lesser than men in career values. The idea seemed too distant and impossible to absorb for them, it was like some taboo that must not even be argued at all cost. That was why I was thrilled to accept my first appointment onboard a warship, it was almost like a personal victory of some sort for me. Stepping onto the quarterdeck of KD PAHANG, I was proud to be called the Deputy Weapon and Electrical Engineering Officer, serving onboard alongside another of the same gender, Lt Kdr Halimatun Sa’adiah RMN as Acting Weapon and Electrical Engineering Officer. Nothing is impossible.

The Weapon and Electrical Engineering (WE) department consists of sixteen personnel, that being inclusive of two officers. To govern and command fourteen men serving onboard operational warship might not seem too difficult for most, but the challenges are there nonetheless. Holding a degree in Computer Engineering, I could only hope that it would help in handling the WE department of KD PAHANG, since the ship is most famous in the force as a system ship, that everything is controlled and monitored by computer. The WE department is responsible for the operations of the communication, navigation, Combat System, power management, Weapon System and aviation sections of the ship. It is important that these sections are managed and maintained as to ensure operational readiness of the ship to fulfil the appointed tasking. Maintenance and repair of equipment onboard has to be synchronized with ship’s tasking schedule as to avoid overlapping between operational requirement and maintenance plans. Good communication between other department on the ship and base maintenance staff must be maintained as to achieve this effect. Dealing with defects as fast as possible during sailing or at the jetty is equally important to maintain the readiness category of the ship.

The pessimistic impression of the hardship and constraint of women living and working onboard a warship has been countered the moment I stepped onboard. Accommodation problem is no longer in question since each cabin is equipped with attached head. With two bunks in each of the officer’s cabin, there is enough privacy and security any ship’s crew could ask for. As for the social and working environment, it could be said there is no crisis or difficulty of bonding with the opposite gender since everyone seem to understand the boundaries. In fact, the socialization with the rest of the ship’s crew is no difference than working at the units ashore, so long as everyone abides the implicit limitation of interactions between genders. And even if the situation persists, although so far there has been no incident as such, any subjected sexual harassment or discomforting gestures can be directly forwarded to the Commanding Officer or the Executive Officer. Personally, in terms of the living and working environment, I do not see any problem in carrying out my duties at my best performance.

The tasks of tackling and troubleshooting defects that arise during sailing are one thing, the challenges of maintaining the physical endurance during rough sailing is basically another. With the internal drills being executed during sailing and operational tasking such as firing exercise, Damage Control Fire Fighting, Action Station and etc, the highest physical and mental capability is demanded from us, much the same as the rest of the ship’s crew , in order to keep up with the routine. Having women onboard should not be a drag and liability for the ship to carry out its tasking and we intend to prove this right. We made sure that we take part in the ship’s side activities during sailing such as early morning activity, evening sports, prayer congregation, karaoke competitions and etc despite having the long stretch of nausea and headache due to seasickness. Participation in the ship’s activity is important to maintain good relationship with the men and other officers, while at the same time providing harmonious and cheery community onboard the ship.

Night rounds at sea are another thing to be noted. With the seasickness and the urge to vomit every time the ship rolls overwhelming all other bodily functions, it is almost next to impossible to actually conduct rounds at nights during sailing, especially when it involves the lower decks where the roll of the ship is much more apparent. To handle this situation definitely needs strong mental control. No amount of drugs could help the situation if one is not psychologically fit and strong to deal with the stress of seasickness. After all, a duty, night round is only one of the few examples that could be taken, is still a duty at whatever mental or physical capacity you are in, and it screams to be carried out. Truthfully, this is definitely one of the major challenges of working onboard.

Other than that, there is also a matter of winning the trust and respect of your men who, most of them, are much more experienced and senior in service. As a young officer, it is most important not to appear too cocky in front of the men. Being humble and down to earth is definitely not a disadvantage in this matter, because to earn respect from your men it is most important to show respect for them in the first place, whether is it for to the age in general, or in respect to the service period that they had served. The process of learning and getting accustomed to the working environment could never be fulfilled if there is a sense of arrogance in asking for the help from the subordinates. This should not be held as weakness but as strength as this only shows how well you trust your men in their work.

The presence of a lady officer could pose an intrusion of the exclusive working space that was meant for men, and this is one other thing to tackle for women onboard ships, when it comes to colleagues. Some might see this offensive, harbouring the thought that a female crew would be burden to the operation of the ship or posing a threat to the harmony of the vessel. Being the only female onboard only extends the kind of wrong thinking that other officers could be having. I would think that a fresh start with the officers is important as to plant a good impression of my personality. The way a woman carries herself is also important, how she is to appear graceful as much as she is to be tough, and how she should be reserved but not quite enough to be bullied around. Once the bond is forming with the colleague, it is not quite difficult to earn respect, as long as one knows and carries out the duties and responsibility as per description of the appointed position.

With my brief 4-month experience onboard KD KEDAH as a trainee and now two months at KD PAHANG for my first appointment, I would say that I am hoping to see more of the navy women, officers as well as ratings, to spread their wings and serve onboard as a true navy personnel. Involvement of females of other branches should be explored as a potential opportunity to further broaden the service of women in the navy and to maximize the utilization of human resource of the navy as a whole. Perhaps we dare to foresee a female radio operator working in exercises or even female commanding officer as already practiced in foreign navy such as French Navy and Royal Australian Navy. It could be a long way to the realization of such vision, but it is not impossible as most people would think.

In truth, the excitement and thrill of serving onboard a warship is actually beyond verbal or written description. The sense of belonging with a part of community that once seemed so strange, distant and almost taboo cannot be easily depicted as if painting it on a canvass or writing it on a piece of paper. People could say it is a victory for women rights to equal occupational advancement, others could even put it as an achievement for Malaysian women to be able to stand tall as the men in the military, or extremists could gloat about winning one extra point to the long fought gender war, but for us, it is about the significance of serving the nation and Malaysian people as best as we could, by pushing the limits of our physical and mental endurance in achieving the sole victory of conquering ourselves. Nothing is impossible, indeed, as long as we put our heart and soul to the one focused goal. Sedia Berkorban.

Thursday, June 25, 2009

Nasib Yang Sendiri Tempah

Alhamdulillah malam ini agak tenang dan releks. Kalau sebelum ini sebenarnya sudah beberapa minggu melalui hari-hari yang meletihkan dan menyebabkan otak menjadi lesu. Kerana kelesuan fizikal menyebabkan kebekuan otak di waktu malam, saya agak lama tidak updatekan blog. Maaf saya pohon kepada semua yang berkunjung.

Malam yang agak santai ini saya ambil kesempatan untuk buatkan satu entry yang berkisar tentang kehidupan keluarga saya sendiri. Saya fikir adalah tidak salah membuka pekung keluarga sendiri untuk memberikan peringatan pada diri saya sendiri khasnya dan amnya kepada semua taulan yang ingin mengambil iktibar daripada kisah ini.

Pada zaman itu Ayah saya di anggap Perantau di kalangan keluarga Ibu saya yang agak berada walau pun jarak kampung Ayah dan kampung keluarga Ibu hayalah sekitar 20km. Perkahwinan Ayah dan Ibu tidak disenangi oleh kebanyakan ahli keluarga di sebelah Ibu walau pun mendapat restu dari Datuk. Selepas perkahwinan mereka, kehidupan Ibu dan Ayah tetap senang hasil usaha mereka berdua.

Ditakdirkan Allah, Ibu meninggal semasa umur saya baru menjangkau setahun setengah. Tinggallah kami berempat, dua orang abang dan seorang kakak dan saya yang bungsu di jagai Ayah tanpa dipedulikan oleh keluarga sebelah Ibu saya kecuali Datuk yang cukup menyayangi saya. Pada masa dahulu sebagai seorang Penghulu dan Orang Raja, Datuk mempunyai banyak harta. Pada masa inilah Datuk mewasiatkan pembahagian hartanya. Semasa Datuk masih sihat hartanya yang bernilai jutaan dibahagikan kepada saya, kakak dan abang-abang dan juga Emak Saudara saya (adik kepada Ibu saya) dengan hanya wasiat mulut (verbal) tetapi bersaksi. Saksi inilah yang memberitahu kami kemudiannya.

Tidak lama kemudian Datuk meninggal dunia. Seingat saya semasa saya berumur empat atau lima tahun. Arwah Datuk hanya mempunyai dua orang anak perempuan iaitu Ibu saya yang sulung dan Ibu saudara saya yang mempunyai tiga anak laki-laki. Setelah Datuk meninggal, semua wasiat Datuk telah diketepikan oleh Ibu saudara dan suaminya. Kononnya kami tidak berhak menerima harta pusaka Datuk kerana Ibu kami meninggal lebih dahulu dari Datuk. Jadi semua harta Arwah Datuk dibolot oleh mereka suami isteri. Berputih matalah kami adik beradik.

Apabila selesai urusan pemindahan pusaka Arwah Datuk, mulalah mereka sekeluarga lupakan dunia. Enjoy dan berjudi anak beranak sehinggakan anaknya yang berumur enam tahun pun sudah pandai main Poker!. Itulah asuhan mereka kepada ahli keluarganya yang mendapat harta yang gugur dari langit. Kesemua anak-anaknya tidak pernah pedulikan pelajaran. Kami pula tidak pernah pedulikan mereka tetapi tidaklah sampai berkelahi dan tidak bertegur sapa. Cuma pada tahap kamu dengan hal kamu dan aku dengan hal aku. Masing-masing layan hal sendiri-sendiri.

Bila kedua-dua abang sudah bekerja, berkahwin dan berpindah. Kakak juga berkahwin dan berpindah. Arwah Ayah ikut sama berpindah dengan membeli tanah dan membina rumah di tempat lain. Jadi kerana keadaan itu kami agak lama terputus hubungan dengan keluarga Ibu Saudara dan keluarganya.

Setelah lama masa berlalu, saya juga sudah berumah tangga dan tinggal berasingan dengan Ayah tinggal bersama saya. Setelah Ayah meninggal, pada satu masa saya berkunjung ke kampung Ibu Saudara dan mendapat berita yang cukup memeranjatkan. Ibu Saudara dan keluarganya sudah papa kedana kerana judi dan enjoy. Sekarang tinggal dengan membina pondok menumpang di tanah orang. Dalam masa saya merisik dan menanyakan hal Ibu Saudara kepada orang-orang di kedai, saya ternampak susuk Ibu Saudara dan saya terus menemuinya dan bertanya khabar. Dia bukannya bertanya balik tentang kami sekeluarga tetapi meminta saya belikan daging lembu untuknya. Katanya lama sudah dia tidak menjamah daging. Saya pun belikan sekilo daging yang memang ada jual di situ, hulurkan padanya bersama sedikit wang dan saya terus memandu pulang dengan hati yang kesal.

Berselang beberapa tahun saya mendapat berita dari Abang Sulung saya yang Suami Ibu Saudara sudah meninggal dunia dan Ibu Saudara saya itu pula sedang sakit tetapi tidak lagi tinggal di kampung itu. Keluarga mereka berpindah ke Kampung Fikri di Terengganu setelah mendapat tanah lot pemberian kerajaan. Saya, Abang dan Isteri terus ke sana mencari rumahnya. Memang dia sakit dan tidak ada duit untuk ke Hospital di Batu Rakit katanya. Saya dan Abang membawanya ke klinik di batu Rakit. Setelah mendapat rawatan dan ubat saya hantar dia pulang. Sebelum kami pulang saya tinggalkan nombor telefon saya dan berpesan kepada anak dan menatunya jika sekiranya Ibunya masih tidak sihat atau bertambah sakit tolong telefon saya atau abang.

Setelah tiga minggu tidak ada apa-apa berita, kami sekali lagi ke rumahnya. Sesampai di rumahnya saya dapati rumahnya sunyi dan lengang. Sedang kami tertanya-tanya sesama sendiri, keluarlah menatunya dan berkata "Datang tengok bekas ajerlah, tuannya dah tak ada" Saya bertanya balik "Mak Ucu ke mana?". Dia jawab dengan selamba "Dah seminggu mati!". Cubalah bayangkan bagaimana perasaan saya dan abang!. Dalam hati saya berkata " Di hadapan aku ini, orang ke apa?" Kami tidak berkata apa-apa. Kami naik ke rumahnya sekejap, tinggalkan sedikit wang belanja tahlil dan kami pulang. Memang tidak ada gunanya kami bercakap dan berbicara dengan manusia yang tidak ada akal dan perasaan. Mungkin itulah kadho' Allah kepada arwah suami isteri.

Daripada kehidupan yang kaya raya akhirnya mati di dalam miskin dan papa kedana dengan kehidupan yang merana.


Sunday, June 14, 2009

Copy and paste dari blog ANAKLAUT (izinkan saya) untuk renungan bersama. Ikutkan nafsu bukan setakat diri yang binasa bahkan negara juga melayang.

Di bawah adalah cerita Sultan terakhir Singapura kehilangan tahta semata-mata kerana duit.
Makam Sultan Hussein Shah di Tengkera Melaka

Istana Sultan Hussein Shah dibaik pulih di Singapura

Sir Stamford Raffles - Gabenor Singapura yang bertanggungjawab ke atas Kehilangan Takhta Kesultanan Melayu Singapura

Semuanya berpunca daripada wang sebanyak 33,2000 (duit Sepanyol) yang diterima oleh Sultan Hussein Shah pada 02hb Ogos 1824 di hadapan Sir John Crawford, Residen Singapura, dalam satu perjanjian tipu muslihat menyebabkan Sultan Hussien Shah kehilangan taktha Kesultanan Melayu Singapura buat selama-lamanya.

Peristiwa malang bagi orang-orang Melayu ini berlaku di kediaman Residen Singapura itu sendiri berikutan persetujuan baginda hendak menyerahkan seluruh pulau Singapura serta pulau-pulau kecil di bawah jajahan takluk baginda kepada Inggeris asalkan diberi pampasan serta sara hidup bulanan.

Bermula pada 03hb Ogos 1826, Sultan Hussein Shah, putera sulung Sultan Mahmud Shah, Sultan Empayar Johor Riau telah kehilangan takhta Kesultanan Melayu Singapura buat selama-lamanya., lebih malang lagi, baginda bukan lagi sebagai Sultan Singapura.

Sejarah telah mencatatkan, Sultan Hussein Shah terputus belanja setelah 3 bulan Inggeris tidak membayr saguhati bulanan sebanyak $ 1600 sebulan, sepertimana perjanjian dengan Sir Stamford Raffles semasa membuka logi perniagaan pada tahun 1819.

Munshi Abdullah yang mencatatkan perihal Sultan Hussein Shah ini dalam bukunya yang masyhur "Pelayaran Munshi Abdullah" dengan rasa sedih menyatakan,." Setelah kehilangan kuasa Sultan Hussein Shah seolah-olah tidak diperlukan lagi oleh Inggeris, walaupun disediakan sebuah Istana baru yang dibuat dengan batu pada tahun 1824 pada tahun 1824 serta dikurniakan tanah seluas 23 hektar di Kampung Gelam."

Menurut Munshi Abdullah, Sultan Hussein Shah seorang sultan yang banyak hutang, malah punca sebenar sehingga tergadainya bumi Singapura gara-gara hutangnya yang banyak dengan tauke-tauke Cina Singapura pada zaman itu. Kerana banyak hutang dan sukar untuk membayarnya, tauke-tauke Cina telah mengadukan hal hutang Sultan Hussein Shah kepada pihak Inggeris, dengan kata lain mengadu kepada Sir Crawford yang menjadi Residen Singapura pada waktu itu.

Dari sini lah Inggeris mengambil kesempatan dengan menekan Sultan Hussein Shah supaya menjelaskan hutang tersebut, jika baginda gagal mejelaskan hutang-hutang tersebut, baginda akan dikenakan tindakan. Tipu muslihat Sir Crawford berjalan menerusi orang-orang yang rapat dengan baginda di Istana Kampung Gelam.

Pujukan halus dijalankan, Sultan Hussein Shah yang sedang tertekan dan tidak tentu arah itu dengan mudah menerima perjanjian "maut" itu, apatah lagi dengan sogokan wang sebanyak $ 32,200 yang sangat besar pada waktu itu.

Sebagai Sultan yang kehilangan kuasa, Sultan Hussein Shah meneruskan sisa-sisa hidup baginda di Istana Kampung Gelam yang dikurniakan Inggeris pada tahun 1824 dengan penuh kekesalan dan kekecewaan. Setiap saat baginda bedukacita, kecewa dan putus asa yang teramat sangat. Sehingga baginda terpaksa membawa diri ke Melaka pada tahun 1834.

Baginda sempat bersemayam di Banda Hilir Melaka, tidak sampai setahun, selepas itu, baginda gering dan mangkat di Banda Hilir pada tahun 1835 dalam usia 59 tahun. Jenazah baginda telah disembahyangkan di Masjid Tengkera dan diberi penghormatan sebagai Raja yang mangkat dan disemadikan di dalam kawasan masjid tersebut.
Beberapa Fakta Tentang Diri Sultan Hussein Shah ( daripada pandangan Munshi Abdullah )
  • Baginda bertubuh pendek, amat gemuk, kulit putih kuning, muka lebar, suara garau

  • Meninggalkan Singapura pada 07 Muhaaram 1834 menuju ke Banda Hilir dengan Kapal Diraja Kedah " Julia" membawa bersama isteri dan 2 orang puteranya.

  • Mangkat di Banda Hilir pada 10hb Muhaaram 1835, kerana sakit jantung ketika berusia 59 tahun, setelah gering selama 6 hari.

  • Semasa hayatnya, baginda selalu bersembahyang di Masjid Tengkera ( masjid India Muslim), semasa baginda mangkat, baginda, tahlilnya juga dibacakan oleh Khatib India Muslim yang bernama Mahmmud bin Musa.

  • Jenazah baginda juga pernah cuba dikorek untuk dibawa ke Riau dan disemadikan disebelah makam ayahanada baginda, namun dihalang oleh waris-waris baginda.

Saturday, June 13, 2009

Kedekut Dan Penakut

Kenapa dua sifat ini melekat kedap di dalam diri kebanyakan orang? Kita akan menemui dan mengakui kedua-dua sifat ini memang melekat pada jiwa kita bila kita merenung jauh ke dalam sanubari kita dengan jujur.

Bila memperkatakan sifat-sifat ini saya terimbas kembali pada satu sesi di dalam satu kursus motivasi yang yang pernah saya hadiri dulu. Seorang perserta yang berpangkat Pengurus Syarikat keturunan Cina yang masih bujang telah ditanya oleh Motivator. Labih kurang beginilah dialognya:

Motivator: " Pernah tak kamu makan di Restoran besar?"
Peserta: "Ya"
Motivator: "Bila makanan dihidangkan, adakah kamu mengucapkan terima kasih kepada Pelayan itu?"
Peserta:"Ya"
Motivator:"Adakah kamu tinggalkan Tips?"
Peserta:"Selalu"
Motivator: "Siapa yang masak untuk kamu di rumah?"
Peserta:"Ibu"
Motivator:"Siapa yang uruskan pakaian kamu?"
Peserta:"Ibu"
Motivator: "Selepas ibu kamu hidangkan makanan kamu adakah kamu mengucapkan terima kasih?"
Peserta:"Kadang-kadang"
Motovator: "Selalukah kamu memuji ibu kamu?"
Peserta:"Tidak"
Motivator:"Adakah ibu kamu memuji kamu sekiranya apa yang kamu buat adalah baik dan memuaskan?"
Peserta:"Ya"
Motivator:"Bilakah Harijadi Ibu kamu?"
Peserta:"Aar...ar... lupa (tergagap-gagap)"
Motivator:"Ah... rupanya kamu lebih teruk daripada anjing walau pun kamu adalah manusia, anjing pun tahu berterima kasih kepada tuannya dengan menggoyangkan ekor bila tuanya berikan makanan!"

Itulah antara dialog yang memberikan kesan kepada saya sehingga ke hari ini.

Kita terlalu kedekut walau pun pada tempatnya untuk hanya berterima kasih dan memuji kepada manusia yang berbudi dan membuat kebaikan kepada kita. Kita kedekut untuk bersyukur dan memuji kepada Allah yang memberikan segala-galanya kepada kita di dalam hidup ini. Kalau pun kita bersyukur hanya pada tempat yang paling jelas. Kalau tidak, kita memang terlupa pada setiap kebaikan.

Penakut kita pula yang paling ketara ialah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Manusia sanggup bertegang leher menegakkan benang basah hanyalah semata-mata takut untuk memohon maaf walau di dalam hatinya mengakui kesilapannya. Manusia cukup pengecut untuk mengakui kesilapan dan kesalahannya terutama kepada orang yang rendah darinya seperti anak buahnya di pejabat dan anak isterinya di rumah. Kenapa? Adakah perkataan "Maafkan saya" itu membawa kejatuhan darjat?" Pada saya darjat manusia terletak kepada keberaniannya mengakui kesilapan dan memperbetulkannya di masa akan datang.

Kepada Tuhan juga kita bersikap yang sama. Jarang kita mengakui kesilapan dan dosa kepadaNya dengan memohon ampun dan bertaubat serta merta bila kita sedar akan kesalahan yang kita lakukan kecuali pada masa-masa tertentu yang lazim seperti semasa berdoa selepas solat itu pun kalau sempat, sedangkan kita sentiasa lakukan kesalahan.

Kita sebagai suami dan bapa, kita jarang sekali meminta maaf kepada anak dan isteri dan begitu jugalah sebaliknya. Kita sememangnya penakut dan kedekut!

Adakah kita sebenarnya ego atau memang bersikap acuh tak acuh kepada perkara sememangnya besar bagi kita sebagai manusia?.

Monday, June 8, 2009

Orang Besar Di Jalanraya Timur-Barat

Saya tersedar dari lamunan bila tiba-tiba van yang dipandu oleh Mat berbunyi bising semacam besi bergesel di bahagian roda belakang kiri dan berhenti dengan tiba-tiba. Kawan-kawan lain pun yang tadinya berdengkur mula menanyakan sebab apa dan kenapa. Saya tengok jam di tangan sudah pukul 2.00 pagi. Tiba-tiba Mat berkata "Abang Din, brek van rosak. Dah tidak ada brek langsung". Saya turun dari van dan pasang lampu gas yang memang kami bawa dari mulakan program ini lagi beberapa hari lalu. Kami pergi seramai 7 orang dengan menyewa van pandu sendiri.

Saya ambil Jek dan buka roda. Aduih... brek pad dan besi serta springnya sudah lenyet dan tertanggal dari tempatnya. Minyak brek pula bocor kering. Saya buang semua yang menghalang roda bari berpusing kerana kami terpaksa teruskan perjalanan sebab pagi esoknya salah seorang kawan yang bersama kami akan bekerja jam lapan pagi. Kami terpaksa teruskan juga perjalanan pulang walau pun van sudah tiada brek langsung. Bila sudah dibesihkan roda dan dipasang kembali, Mat meminta saya yang pandu sebab dia tidak biasa memandu dengan kenderaan di dalam keadaan yang tidak mempunyai brek.

Sebenarnya kami dari Cameron Highland mendaki Gunung Berembun sempena Sambutan Ulang Tahun Kejayaan Everest 97'. Kami di sana selama 2 malam. Petang tadi setelah singgah di Ipoh rumah Mak Mertua saya sekejap, kami terus bertolak pulang ke Kota Bharu dan singgah makan malam di Lenggong. Ikan Patin Masak Asam Pedas. Setelah kenyang dan letih semuanya tertidur sehingga mendengkur di dalam van. Sebelum itu dari Cameron Highland saya yang pandu sebab semua kawan-kawan beralasan tidak biasa pandu van di kawasan berbukit dan jalan yang berbelit-belit (jalan lama tapah-cameron highland). Selepas makan malam di lenggong barulah saya berikan setering kepada Mat dan selepas itu saya pun separuh lena.

Bila Mat berhenti kerana brek rosak, barulah saya sedar rupanya kami semua baru melepasi Puncak Titiwangsa. Dari situ saya pula ambil alih pemanduan. Mula-mula tu saya pandu agak perlahan untuk membiasakan diri dengan kenderaan yang ketiadaan brek dan hanya menggunakan gear dan pedal minyak untuk brek. Tetapi sesudah agak lama dan berkeyakinan saya meneruskan pememanduan dengan kelajuan yang perlahan sedikit dari biasa. Semua kawan-kawan sudah lena dan mendengkur kembali termasuk Mat yang duduk di sebelah saya yang sedang memandu. Saya pun hairan, mereka cukup percayakan saya memandu dengan ketiadaan brek dan boleh lena serta berdengkur.

Tiba-tiba dari jauh di sebalik kabus nipis dengan pancaran lampu van, saya nampak satu lembaga menyerupai manusia tetapi tinggi dan besar seolah-olah setinggi 8 kaki. Saya terus pandu sambil perhatikan apakah makhluk itu sebenarnya. Tiba dalam jarak lebih kurang 50 meter, lembaga itu masih berdiri tegak di tengah-tengah jalan. Saya toleh kiri dan kanan semua orang berdengkur tidur mati. Saya terus pandu ke arah lembaga tersebut dan nekad sekiranya dia tidak lari saya akan rempuh dengan van. Bila tiba lebih dekat, saya dapati satu selekoh yang agak tajam. Saya turunkan gear dan lepaskan padel minyak untuk memperlahankan kelajuan, barulah saya pasti rupanya lembaga itu di tepi jalan selepas selekoh. satu papantanda amaran jalanraya yang berbentuk bulat macam kepala di atas dan di bawah kepala pula satu palang memanjang macam tangan di depa . Itulah rupanya hantu tinggi yang saya nampak! .

Saya ketawa sorang-sorang dengan kuat dan kawan-kawan tersedar serta bertanya "Kenapa Din?" Dalam gelak saya berkata "Kamu semua rugi, tadi aku tengok hantu tinggi tapi kamu semua tidur" Jadi semua orang bising kenapa saya tidak kejutkan mereka.

Kesimpulan saya ialah kerana letih dan mengantuk berserta dengan kabus dan silauan cahaya lampu, papan tanda pun akan menjadi hantu!

Kami tiba di Kota Bharu, rumah saya ketika azan subuh berkumandang. Kawan yang akan masuk kerja pagi ini dapat ke pejabat dengan hati yang lega. Kalau tidak dia pun tidak tahu apakah alasan yang akan dikatakan kepada Ketua Unitnya.

Saturday, June 6, 2009

Along Baru Antar

Along Hanging
(Rescue kapal ke kapal
)


Bersama Pegawai HMS Ocean


Di IMDEX Singapore


Snorkeling di Tioman



Thursday, June 4, 2009

Berlumba Dengan Kereta Hantu

Semasa Along (anak pertama) sedang menuntut di ATMA/UPNM saya sekeluarga termasuk kakak saya ke Kuala Lumpur melalui Jalan alternatif Sungai Koyan. Kerana kami bertolak sudah agak lewat dari Kota Bharu maka ketika masuk ke jalan itu hari sudah malam dengan hujan tidak berhenti dari Kuala Krai lagi. Jam sudah menunjukkan 9.30 malam. Saya pandu dengan kelajuan sederhana sebab keadaan jalan yang gelap dan licin. Tidak ada sebuah kereta pun yang kami temui.

Bila tiba di tengah-tengah ladang kelapa sawit yang sunyi saya merungut separuh bercakap dengan isteri "Takkanlah malam ini hanya kita saja ke KL? Tak ada langsung kereta yang kita potong atau yang memotong malah mengekori pun tidak ada" selepas habis saya berkata-kata, saya nampak ada lampu kereta di belakang kami seolah mengekor sebelum memotong. Saya berkata lagi " Kalau nak laju potonglah, kami bukannya urgent. Hanya speed ini saja yang akan saya pandu". Selepas saya berkata begitu seolah-olah driver kereta itu mendengar dan terus memotong. Selepas memotong kereta kami, kereta tadi dipandu di hadapan saya dengan speed biasa seolah-olah ingin berkonvoi dan saya terus ekori dari belakang. Saya nampak no. plate DAD 25** Wira aeroback warna hijau kepala itik. Memang kereta Kelantan.

Saya terus memandu mengekori kereta tadi semakin lama semakin laju tanpa saya sedar saya tekan pedal minyak untuk mengekori kelajuan kereta di hadapan. Tiba-tiba semasa saya ambil satu selekoh yang agak tajam, tayar kereta berdecit kerana membeluk dengan laju. Saya tengok meter 130kph. Saya hairan dan bertanya isteri "Bila pula saya laju?" isteri menjawab "Memang awak laju semacam nak berlumba dengan kereta tu". Saya kata "Ok, awak jangan risau, saya akan ekor kereta ini dengan berhati-hati walau pun dia laju, saya nak tengok berapa kelajuan yang dia nak pandu". Kami terus mengekori kereta itu sehinggalah tiba di pinggir pekan Sungai Koyan.

Apabila tiba di satu tebing sebelum pekan Sungai Koyan selepas satu selekoh, tiba-tiba kereta itu hilang di depan mata. Jarak pemanduan antara kami dan kereta itu hanya 10 ke 15 meter sahaja. Saya memperlahankan kereta dan mencari kalau ada mana-mana lorong yang kemungkinan kereta itu masuk. Tapi saya dapati tidak ada junction. Kalau ada pun dia masuk lorong, takkanlah membeluk masuk lorong tanpa brake dulu dengan kelajuan 120 ke 130kph? Kalau terus corner dengan speed itu tentu akan terbabas. Tapi kereta itu terus hilang.

Saya tanya kakak saya yang duduk di belakang sama ada kakak nampak pemandu dan penumpang kereta tadi semasa kereta itu memotong? Kakak kata dia tak nampak pun ada orang yang memandu kereta tadi malah bayang orang pun tak ada. Jadi kereta tadi berjalan sendiri tanpa pemandu!. Kakak sememangnya nak tanya tadi tapi tidak terkeluar pula perkataan yang nak dikatakan. Memang dia rasa pelik.

Bila balik semula ke Kelantan, isteri saya yang memang kenal ramai tauke-tauke bengkel kereta yang membaik pulih kereta kemalangan kerana kerja isteri berkaitan dengan itu. Satu jawapan yang memeranjatkan diterima. Kereta jenis itu yang berwarna hijau kepala itik bernombor pendaftaran itu sudah beberapa bulan accident dan di klasifikasikan "Total lost!". Pemandunya meninggal dunia!

Wednesday, June 3, 2009

Teka Santai

1. Bagaimana untuk mengenali pokok kelapa jantan dan betina?.

2. Bagaimana untuk mengenali kopi jantan dan betina?.

3. Bila hujan selalunya itik suka bermain air dan hujan. Bila hujan berhenti dan matahari bersinar, kenapa mereka suka berjemur dengan mengangkat sebelah kaki?.

4. Sebuah kapal besar sedang belayar tiba-tiba datang seekor camar dan berak sambil terbang dan kena ke atas kapal itu dan kapal itu terus tenggelam. Apakah yang lebih besar?

5. Di sebuah kampung ada seekor beruk yang handal memanjat dan tidak pernah tewas memanjat mana-mana pokok walau pun apa saja rintangan di pokok itu. Di atas sepohon kelapa pula bersarang sekumpulan kerengga yang bisa mempertahankan sarangnya di pokok itu. Tidak pernah ada seekor beruk atau manusia yang berjaya memanjat kelapa itu. Oleh kerana tidak ada beruk lain yang berjaya mengambil buah kelapa di pokok itu, maka tuan kelapa mengupah tuan empunya beruk yang handal tadi untuk memetiknya. Bagaimanakah beruk tadi berikhtiar dan berfikir caranya untuk memanjat dan memetik buah kelapa itu?

6. Semua penggali kubur tidak pernah pakai seluar dalam. Kenapa?

7. Apakah bezanya di antara seluar dalam dan seluar bola?